Oleh: JANNES EUDES WAWA
Mengunjungi Tana Toraja di Sulawesi Selatan menggunakan mobil atau motor, itu sudah lumrah. Kali ini, ada 70 orang mendatangi Toraja dengan bersepeda dari Makassar. Panas terik dan tanjakan tajam tidak dipedulikan. Yang terpenting bisa mengayuh sepeda hingga di daerah yang terkenal dengan tradisi merayakan kematian itu.
Perjalanan yang dikemas dalam event Jelajah Tana Toraja ini dilakukan pada 25-27 Agustus 2023. Penyelenggaranya adalah Jelajah Bike, perusahaan yang khusus mengelola touring sepeda.
Ke-70 orang itu, sekitar 85 persen berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. Sisanya dari Bandung, Makassar, Surabaya, Denpasar, Gorontalo, dan Kuala Lumpur (Malaysia). Dari 70 orang tersebut, kurang lebih 96 persen baru pertama kali mengunjungi Tana Toraja. Hanya 4 orang yang pernah ke Toraja dengan bersepeda.
“Kalau ke Makassar saya pernah beberapa kali. Entah urusan bisnis, atau urusan lain. Tetapi belum sekali pun mengunjungi Toraja. Padahal, sudah lama banget penasaran sama Toraja dengan segala macam tradisi uniknya,” kata Yoke Haulani Latif, pesepeda asal Kelapa Gading, Jakarta.
Sejak Rabu, 23 Agustus 2023 siang, belasan peserta sudah tiba di Makassar, atau sehari lebih cepat dari jadwal kedatangan peserta umumnya. Mereka sengaja melakukan itu karena ingin menikmati kuliner lokal, serta mengunjungi sejumlah tempat wisata di ibukota Provinsi Sulawesi Selatan tersebut.
Salah satu menu kuliner yang paling diburu adalah kuah kuning ikan segar. Ikan yang disajikan umumkan ikan karang, seperti kerapu. Ikan-ikan tersebut belum lama tersentuh es sehingga tampak segar dan masih terasa manis alami. Menu lain adalah soto makassar.
“Setelah keluar dari Bandara Hasanuddin, kuliner pertama yang langsung saya cari adalah soto makassar. Beberapa jam sesudahnya saya berburu ikan kuah kuning dan otak-otak dari ikan tenggiri. Enak banget,” ujar Tomi Pratomo, direksi salah satu perusahaan multinasional yang berkantor di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta.
Hal yang sama juga dilakukan peserta yang tiba di Makassar pada 24 Agustus 2023. Setelah tiba di hotel, dan selesai memasang sepeda masing-masing, banyak yang langsung menjajal kuliner khas Makassar. Nilai yang dibelanjakan setiap orang pun cukup besar. Hal ini otomatis ikut menghidupkan ekonomi lokal.
Panas berganda
Kami memulai bersepeda dari Hotel Santika, Makassar, pada Jumat 25 Agustus 2023 pukul 05.30 Wita. Hari pertama menempuh rute Makassar-Pinrang sejauh 183 kilometer.
Rute ini melewati pesisir pantai dengan ketinggian berkisar 10-40 meter. Jalannya pun lurus, nyaris tidak banyak kelokan. Sekilas terkesan perjalanan ini cukup enteng.
Akan tetapi, setidaknya ada dua tantangan terberat yang dihadapi selama perjalanan. Pertama, suhu udara yang panas: mendekati 40 derajat celcius. Kedua, jalan yang ada umumnya berupa cor. Suhu panas dari sinar matahari mengenai jalan cor langsung memantul kembali sehingga pesepeda mendapatkan sengatan panas ganda, yakni dari atas dan dari badan jalan. Berbeda dengan jalan beraspal yang cenderung menyerap panas. Akibatnya, banyak energi pesepeda yang terkuras.
Panitia pun meningkatkan suplai air mineral, minuman lain dan buah di setiap water station (WS). Bahkan, WS ditempatkan di tujuh titik. Jarak antar WS juga diperpendek dari biasanya berkisar 30-33 kilometer, saat itu diubah menjadi 25-26 kilometer. Ada pula yang hanya berjarak 20 kilometer.
Selain itu, setiap marshal yang menggunakan motor dibekali dus berisi beberapa botol air mineral. Kalau ada pesepeda yang kehabisan air langsung terpenuhi tanpa menunggu hingga di lokasi WS.
Langkah tersebut dilakukan untuk mencegah terjadi dehidrrasi. Jika dehindrasi, maka berpotensi mengalami kram. Hal ini akan menggangu kenyamanan mengayuh sepeda.
“Ada beberapa pesepeda sempat mengalami kram. Tetapi, langsung teratasi dan diberikan pertolongan sehingga ada yang bisa melanjutkan gowes hingga finis, tetapi ada pula yang memilih dievakuasi agar tidak parah,” jelas dokter Silvester, tim medis dari Rumah Sakit Siloam Makassar yang mendampingi touring ini.
Hari itu adalah Jumat. Bagi peserta muslim diberi kesempatan melakukan sholat jumat di Islamic Center Kabupaten Barru. Yang tidak beribadah bisa manfaatkan waktu yang ada untuk istirahat dan makan siang.
Tantangan berat lain adalah menghadapi tiupan angin yang kencang. Hal ini sangat terasa sejak dari kilometer 100 dan menjelang Pinrang, tiupan tersebut terasa bertambah besar. Sejumlah pesepeda mengaku beberapa kali sepeda yang dikayuh sempat oleng ke kiri dan kanan.
Sekitar pukul 15.00, sejumlah peserta yang menggunakan sepeda balap (road bike) sudah tiba di Pinrang. Mereka memang meniatkan untuk mempercepat kayuhan agar tiba di finis lebih cepat agar terhindar dari paparan sinar matahari yang lebih lama.
Sementara kelompok terakhir masuk Pinrang sekitar pukul 17.00 Wita. Sebagian dari mereka sempat istirahat di sejumlah tempat di luar lokasi WS. Ada juga yang berhenti untuk menikmati buah durian.
Tanah impian
Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan dari Pinrang menuju Rantepau, Toraja. Rute hari kedua cukup berat. Bergerak dari ketinggian sekitar 40 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan berakhir pada 740 mdpl.
Saat keluar dari halaman depan Hotel MS Pinrang, sekitar pukul 06.30 Wita, cuaca sedikit mendung, tetapi beberapa waktu kemudian muncul sinar matahari. Setelah melewati pusat kota, perjalanan kemudian serong ke kanan arah ke Enrekang. Jalan yang dilewati beraspal mulus, dengan panorama hamparan sawah hijau.
Selang 10 kilometer berikutnya mulai melewati tanjakan disertai turunan (rolling) pendek. Kurang lebih tiga kali kami “bercumbu” dengan rolling sebelum tiba di WS pertama di kilometer 26, depan masjid Kabere.
Selepas Kabere, kami mulai menghadapi tanjakan. Mula-mula kemiringan sekitar 3 derajat, tetapi semakin ke depan kemiringan terus bertambah hingga 8 derajat. Setelah itu, berkurang, kemudian meningkat lagi. Bahkan, di lokasi tertentu kemiringan bisa melebihi 10 derajat.
Kami makan siang di kawasan Gunung Nona, letaknya di kilometer 57 dari Hotel MS Pinrang. Lokasinya berada di kawasan perbukitan, masih di Kabupaten Enrekang. Disebut gunung nona karena bentuk permukaan area itu menyerupai alat kelamin perempuan. Warga setempat menyebut Buntu Kabohong.
Konon menurut legenda, pada masa lalu di kaki gunung itu pernah ada Kerajaan bernama Tindaun. Wilayah itu subur, dan warganya hidup makmur. Saking makmurnya, mereka pun menjadi lupa diri. Hidup penuh hura-hura dan berperilaku menyimpang dari norma agama dan adat istiadat. Warga juga bebas berhubungan seks di luar nikah.
Raja pun gelisah dan marah. Apalagi perilaku buruk itu juga menjangkiti anggota kerajaan. Dia pun mengumpulkan para pemuka adat dan agama membahas upaya pencegahan, tapi upaya tersebut gagal. Perilaku buruk itu malah menjadi-jadi. Perintah raja tidak lagi ditaati. Suatu ketika bencana pun datang meluluhlantakan wilayah Tindalun.
Tuhan murka dan mengutuk masyarakat Tindalun. Salah satunya yakni mengutuk bukit di wilayah itu berubah menyerupai alat kelamin perempuan. Bentuk yang unik itu pun kemudian popular hingga saat ini.
Gunung Nona selalu menjadi tempat persinggahan warga yang berpergian ke atau dari Tana Toraja. Panoramanya pun indah dan menarik sehingga menjadi salah satu lokasi favorit untuk swafoto.
Sehabis makan siang, kami mengayuh lagi dari ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Awalnya masih menghadapi tanjakan halus yang diselingi jalan datar, dan menurun hingga di kilometer 65.
Setelah itu, melewati tanjakan panjang. Sekitar dua kali sempat menurun beberapa puluh meter, tetapi sesudahnya menanjak kembali hingga mencapai ketinggian 1.050 meter di kilometer 92. Tak lama kemudian tibalah di gerbang batas Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja. Di gerbang itu berdiri gapura selamat datang dengan model rumah adat Toraja.
Begitu berada di gerbang itu seketika timbul rasa bahagia dan terharu yang luar biasa. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bakal mendatangi Toraja dengan bersepeda.
“Sejak kecil, berkali-kali saya niatkan untuk mengunjungi Toraja, tetapi selalu gagal. Baru kali ini terwujud. Malah dengan bersepeda pula,” kata Erwin Munandar, pengusaha roti yang lahir dan tinggal di Makassar.
Meski sudah di gerbang, jangan mengira Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja sudah di depan mata. Selepas gerbang, mulai tampak satu demi satu bangunan rumah adat Toraja atau tongkonan. Bangunan itu umumnya berada di samping rumah tinggal warga.
Perjalanan kami terus melaju, dengan suasana Toraja semakin mengental. Jalan yang dilalui tetap bervariasi: mendatar, menanjak, dan menurun selalu silih berganti. Sekitar tiga kilometer memasuki kota Makale, tampak sebuah gunung batu yang menjulang tinggi.
Pada dinding batu tersebut tertulis: Selamat Datang di Kota Makale. Toraya Mala’bi. Tulisan ini ternyata mengeco banyak pesepeda. Mereka mengira sesaat lagi akan masuk finis. Wajah pun berseri-seri penuh suka cita.
Ternyata salah. Mereka keliru. Lokasi finis masih jauh. Sekitar 15 kilometer lagi. Hotel Misiliana berada di Rantepao, Kabupaten Toraja Utara.
Dulu, kedua wilayah ini tergabung dalam satu kabupaten, yakni Tana Toraja. Akan tetapi, sejak 28 November 2008, dilakukan pemekaran dengan lahirnya Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Dari Makale ke Rantepao juga masih melewati sejumlah tanjakan dan turunan. Tidak terlalu panjang, tetapi berkali-kali sehingga melelahkan juga.
Rudi Pasaribu, peserta dari Jakarta mengaku nyaris putus asa dengan rolling yang disertai tanjakan panjang tidak berkesudahan sejak dari Enrekang hingga Rantepao. Dia sempat menggerutu, sebab lokasi finis begitu jauh.
Begitu memasuki area tengah kawasan Hotel Misiliana tampak sejumlah bangunan rumah adat Toraja yang berdiri tegak. Segala kelelahan langsung terobati. “Bangunan rumah adat keren sekali. Energi yang terkuras pun terpulihkan. Saya puas, dan salut dengan pilihan lokasi finis ini,” tegas Rudi yang juga baru pertama kali mengunjungi Toraja.
Jacob Soetiono asal Jakarta juga mengaku sangat berbahagia bisa mengunjungi Tana Toraja. Sejak kecil sering mendengar tentang keunikan tradisi masyarakat Toraja baik rumah adat maupun penghormatan terhadap jenazah dan lelulur.
Akan tetapi, tidak terlintas dalam benak untuk mengunjunginya. Alasannya, letak Toraja yang jauh dari Makassar. Tidak ada penerbangan yang menghubungkan Toraja dengan Jakarta, melainkan harus terlebih dahulu singgah di Makassar.
Jika menempuh jalur darat pun harus menggunakan mobil dengan lama perjalanan kurang lebih delapan jam dari Makassar. Banyak waktu terbuang di jalan dan melelahkan.
Ketika kesempatan itu datang melalui Jelajah Tana Toraja, Jacob pun tertarik. Tetapi, jadwalnya bertabrakan dengan rencana perjalanannya ke Australia. Dia pun berputar otak untuk mencari peluang menunda keberangkatannya ke Sydney, Australia.
“Bagi saya, mengunjungi Toraja jauh lebih sulit dibanding ke Sydney. Makanya, saya terus mencoba mencari peluang untuk menggeser perjalanan ke Australia demi bersepeda ke Toraja. Peluang itu baru bisa saya dapatkan pada pertengahan Agustus, dan langsung daftarkan diri. Mungkin saya termasuk yang terakhir mendaftar,” ujar Jacob.
Jelajahi Toraja
Minggu 27 Agustus 2023, kami menjelajahi Toraja, mengunjungi sejumlah lokasi wisata. Mula-mula pada pukul 04.30 Wita, ke Negeri di Atas Awan Lolai. Lokasi ini berada pada ketinggian 1.300 mdpl. Di pagi hari, pengunjungi disuguhi keindahan kumpulan awan putih di atas wilayah Toraja.
Setelah itu menuju ke Kete Kesu yang merupakan desa adat yang banyak menyimpan kisah dan sejarah Tana Toraja. Di sana, berdiri sejumlah rumah adat (tongkonan). Di bagian depan tongkonan, terutama pada dinding dan tiang rumah ditempatkan tanduk kerbau.
Jumlah tanduk yang terpasang menunjukan banyaknya kerbau yang telah dipotong dalam perayaan kematian anggota keluarga tersebut. Bagi masyarakat Toraja, leluhur wajib dihormati melalui perayaan yang meriah.
Ada pula makam kuno dimana jenazah diletakkan pada dinding tebing batu dan gua yang terletak di belakang desa itu. Terdapat pula beberapa makam yang tergolong modern yakni makam yang telah menggunakan bangunan seperti rumah adat, dan terdapat pula foto orang yang disimpan di dalam rumah tersebut.
Kami juga mengunjungi situs megalitikum Kalimbuang Bori, sebelah utara Rantepao merupakan bebatuan yang ditanam dan berdiri tegak di atas hamparan lahan berumput hijau. Ada 102 menhir meliputi 54 menhir kecil, 24 menhir sedang dan 24 menhir besar.
Batu-batu itu diambil dari gunung, kemudian dipahat selama berbulan-bulan, lalu ditanam. Penanam pertama diperkirakan pada tahun 1.657. Konon, ketika itu sebanyak 100 ekor kerbau yang dikurbankan.
Di dalam kawasan itu juga berdiri beberapa rumah adat Toraja yang dipakai untuk upacara adat pemakaman jenazah para bangsawan. Dalam upacara tersebut keluara akan mengurbankan kerbau minimal 24 ekor, dan 4 ekor kerbau Toraja.
Sempat pula mengunjungi Buntu Burake di Kabupaten Tana Toraja. Di sana, berdiri patung Tuhan Yesus di puncak bukit. Patung yang menghadap ke Kota Makale ini memiliki tinggi 40 meter, dan disebut-sebut sebagai yang tertinggi di dunia, sebab berada di atas bukit yang memiliki ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dari kawasan Buntu Burake, wisatawan dapat menikmati pemandangan kota Makale dan deretan pegunungan yang indah mengelilingi Toraja. Apalagi tampak langit biru nan bersih. Sungguh indah!
Khushairi Muhammad, pesepeda asal Kuala Lumpur, Malaysia, mengaku sangat terpesona dan kagum dengan Toraja. Alamnya indah, rumah adatnya sangat unik, apalagi tradisi menyimpan jenazah di dalam gua dan tebing bukit disertai perayaan yang meriah.
“Saya pernah mendengar cerita tentang Toraja. Tetapi, baru sekarang bisa datang di sini. Pasti sudah banyak orang Malaysia mengunjungi Toraja, tetapi yang datang dengan bersepeda mungkin saya termasuk orang Malaysia pertama,” ungkap Khus.
Anita Soedjarwo juga mengaku sangat bahagia dengan perjalanan ke Tana Toraja. Ini adalah petualangan dia yang pertama kali bersama Jelajah Bike. “Dari tidak mengenal satu orang pun menjadi memiliki banyak teman baru dengan jiwa minggat yang sama. Dari weekend warrior menjadi bike tourer. Sungguh ini petuangan yang menarik. Pas banget dengan jiwaku.” ujar Anita.
Memang Toraja memiliki banyak keunggulan untuk menjadi destinasi wisata favorit. Namun, pemda setempat perlu memprioritaskan pembangunan landas pancu bandar udara yang mampu didarati pesawat berbadan lebar, seperti Citilink, Batik Air atau Garuda.
Setelah itu, dibuka penerbangan langsung rute Jakarta-Toraja dan Bali-Toraja pergi pulang. Jika dua rute ini dibuka, maka kunjungan wisatawan, termasuk wisatawan asing ke Toraja pasti melonjak tajam. Ekonomi lokal akan bertumbuh pesat.
Jangan Lewatkan!!