Waktu adalah uang. Kalimat sakti ini mengingatkan kita tentang betapa pentingnya waktu. Betapa berharganya waktu. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Jangan pernah menunda peluang, sebab waktu hanya terus berjalan ke depan tanpa pernah bisa diputar ke belakang lagi.
Peringatan itu juga menyadarkan setiap manusia untuk lebih disiplin, lebih bijak dan lebih konsisten. Hanya orang yang memiliki disiplin tinggi dan etos kerja yang baik yang produktif yang mampu diandalkan untuk memberikan hasil kerja yang optimal.
Dalam masa pendemi wabah virus corona (Covid)-19, pepatah tersebut juga berlaku setiap saat di Indonesia. Bayangkan saja jika pemerintah terlambat menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSPB). Jumlah korban yang berjatuhan bakal jauh lebih banyak.
Bayangkan saja jika pada awal terserang Covid-19, Presiden Joko Widodo memutuskan diberlakukan lockdown seperti tuntutan sejumlah kalangan. Pasti saat ini krisis ekonomi dalam negeri jauh lebih parah dari kondisi saat ini.
Bisa dibayangkan lagi jika Presiden Joko Widodo terlambat memutuskan pembelian vaksin dari China pada akhir tahun 2020. Mungkin vaksinasi di Indonesia belum bisa dimulai pada awal bulan Februari 2021, dan hingga 1 November 2021 telah menjangkau 120.553.182 orang atau 57,88 persen untuk dosis pertama, dan dosis kedua untuk 77.444.261 orang atau 35,74 persen dari total sasaran 208.265.720 orang.
Bahkan, Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang paling banyak memberikan vaksinasi kepada warganya. Dengan wilayah yang teramat luas disertai pulau-pulau yang banyak dan kondisi geografis yang dimiliki, realisasi vaksinasi sebanyak itu tergolong luar biasa.
Apalagi dalam menghadapi serangan varian delta Covid-19, Indonesia mampu menghadapi dengan baik, terukur dan efektif sehingga dalam tempo kurang lebih dua bulan kasus ini mampu terkendalikan. Kini, semakin menurun, dan kasus harian berada di bawah 700 kasus per hari.
Berbeda motivasi
Akan tetapi, dalam situasi Covid-19 ini pula ungkapan waktu adalah uang berubah juga esensinya. Waktu tunggu menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan. Semakin pendek waktu tunggu, semakin mahal biayanya.
Hal ini terjadi dalam urusan tes Covid-19 menggunakan metode berantai polymerase (PCR). Secara normal, hasil tes baru diketahui sekitar 1x 24 jam. Tetapi, ada pihak tertentu mampu mempercepat waktu tunggu itu. Bisa hanya 6 jam, 10 jam, atau mencapai 20 jam.
Menariknya, lamanya waktu untuk mengetahui tes PCR telah berkembang menjadi peluang bisnis yang memberi keuntungan besar. Semakin pendek waktu tunggu, tarifnya semakin mahal. Harganya bisa dua kali lipat dari harga yang ditetapkan pemerintah.
Saat ini, sejumlah klinik di Jakarta menawarkan tes PCR melalui media sosial dengan dua jenis tarif. Pertama, tes PCR yang hasilnya diketahui dalam 20 jam dengan harga Rp 275.000. Kedua, tes PCR dengan hasilnya 10 jam seharga Rp 495.000. Promosi ini dilakukan setelah adanya revisi tarif tes PCR dari Kementerian Kesehatan.
Bisnis waktu dalam tes PCR yang dilakukan sejumlah klinik sebetulnya sudah berlangsung lama. Sebelum ini, tes PCR dengan hasil 6-10 jam dikenakan tarif minimal Rp 900.000. Harga yang diberlakukan selalu selangit. Sungguh mengerikan.
Kementerian Kesehatan dalam Surat Edaran Nomor HK 02.02/01/3842/2021 tanggal 27 Oktober 2021 telah menetapkan Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Dalam surat yang ditandatangani Dirjen Pelayanan Kesehatan Abdul Kadir itu disebutkan batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR di Pulau Jawa dan Bali sebesar Rp 275.000.
Tarif tertinggi berarti tarif yang paling mahal. Artinya, tidak ada tarif lain lagi untuk tes PCR yang lebih tinggi dari yang ditetapkan Kemenkes. Apabila ada pihak yang memberlakukan tarif lebih tinggi lagi, maka tergolong pelanggaran.
Abdul Kadir juga menegaskan rumah sakit atau laboratorium tidak diperkenakan mematok tarif melebihi tarif tertinggi yang ditetapkan Kemenkes dengan alasan apa pun, termasuk hasil pemeriksaan lebih cepat.
“Kami tidak mengizinkan dan tidak membenarkan ada harga di atas tarif tertinggi ini, apapun alasannya. Termasuk alasan batas waktu hasil keluarannya lebih cepat atau tidak. Batasnya kita tetapkan adalah seperti tadi disebutkan dengan maksimal pembacaan hasilnya atau keluar hasilnya 1 x 24 jam,” tegas Kadir dalam konferensi pers virtual Kementerian Kesehatan, Rabu (27/10).
Bahkan, juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers pada 28 OKtober 2021 juga mengingatkan bahwa evaluasi harga tes PCR sudah melalui penghitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR. Itu antara lain komponen jasa, reagen, bahan habis pakai, biaya administrasi dan komponen lainnya sesuai kondisi saat ini.
“Hasil pemeriksaan RT-PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 1×24 jam dari pengambilan swab. Apabila terjadi penambahan waktu keluar hasil, maka tidak akan meningkatkan biaya tes PCR.
Masyarakat pasti senang dengan kebijakan pemerintah yang sudah mengantisipasi tentang kemungkinan adanya bisnis waktu dalam tes PCR saat ini dan waktu-waktu ke depan. Apalagi, Kemenkes juga sudah menyiapkan sejumlah langkah penindakan apabila menemukan adanya pelanggaran terhadap penerapan tarif tes PCR.
Namun regulasi saja tidak cukup. Perlu diperkuat dengan pengawasan yang ketat di lapangan yang disertai penindakan yang tegas. Instansi terkait harus lebih rajin memantau dan mengawasi situasi di lapangan, termasuk melalui media sosial. Selain itu, meminta masyarakat agar aktif melaporkan pelanggaran tersebut.
Jika praktek busuk ini dibiarkan, masyarakat akan terus-menerus jadi korban. Padahal masyarakat belum selesai menderita akibat krisis ekonomi, harus menghadapi lagi praktek bisnis dari segelintir orang yang ingin memperkaya diri melalui bisnis tes PCR.
JANNES EUDES WAWA
wartawan/pegiat touring sepeda