Oleh: JANNES EUDES WAWA
Bali boleh dibilang sebagai pulau yang paling disukai wisatawan dunia. Jika mengayuh sepeda mengelilingi pulau seluas 5.780 kilometer persegi tersebut tentu mendapatkan sensasi luar biasa. Apalagi rutenya menarik. Banyak sisi lain Bali yang bisa disaksikan dari dekat. Itulah yang dilakukan 85 pesepeda yang mengikuti Jelajah Bali Bike 2023.
Ada sensasi dan kebahagiaan yang dirasakan. “Mengayuh sepeda di Bali sudah lama menjadi impian saya. Kali ini saya dan istri mendapatkan lebih, karena tidak hanya mengayuh di Bali, melainkan mengayuh keliling Pulau Bali. Ini pengalaman yang luar biasa. Fantastis,” kata Zaiful Rizal bim Zamri, peserta dari Kuala Lumpur, Malaysia.
Ritual bulan Juni
Di Indonesia, Juni selalu identik dengan bulan liburan. Di bulan itu, mulai dari akhir pekan kedua hingga pertengahan Juli, semua sekolah dasar hingga sekolah menengah atas memasuki liburan. Libur ini menandakan berakhirnya satu tahun pelajaran. Itu sebabnya, waktu pun cukup panjang.
Bali termasuk salah satu daerah yang menjadi tujuan utama orang berlibur. Segala hal yang diinginkan wisatawan tersedia di pulau itu. Bersepeda termasuk sesuatu yang selalu diimpikan banyak orang.
Inilah menjadi alasan Jelajah Bike melakukan touring sepeda di Bali. Even bernama Jelajah Bali Bike ini dilakukan pada setiap bulan Juni, sejak tahun 2021. Pada tahun 2021 dan 2022, rute yang dipilih adalah wilayah tengah dan selatan. Pada tahun 2023, ritual bulan Juni diulangi lagi. Rute yang dipilih adalah mengelilingi Pulau Bali.
Touring selama tiga hari yakni 23-25 Juni 2023 ini diikuti 85 pesepeda, dimana tujuh orang dari Malaysia, lima orang dari Singapura, dan sisanya dari Indonesia. Terbanyak warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Sepeda terbanyak yakni sepeda balap (road bike), menyusul sepeda lipat dan sepeda gunung.
Hari pertama dengan rute Nusa Dua-Pemuteran sejauh 178,6 kilometer. Hari kedua: Pemutaran-Amed sejauh 134 kilometer dan Amed-Nusa Dua 117 kilometer. Mengayuh dari Nusa Dua, dan kembali ke Nusa Dua ini menempuh perjalanan sejauh 429,6 kilometer.
Perjalanan dimulai dari Hotel Santika Siligita, Nusa Dua sekitar pukul 05.30 Wita. Gowes ini dilepas Irjen Pol (Pur) Royke Lumowa, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, dan Leontinus Alpha Edison, co-founder Tokopedia. Saat itu hari masih gelap.
Panitia dari Jelajah Bike sengaja merancang pelepasan pada pukul 05.30 Wita. Hal ini mempertimbangan waktu sholat jumat bagi peserta Muslim, dimana di Bali mulai pukul 12.20 Wita. Untuk rute hari pertama, masjid baru ada di Kabupaten Negara. Jaraknya di atas 100 kilometer dari Siligita, Nusa Dua.
Dengan asumsi kecepatan 20 kilometer per jam, maka sebelum pukul 12.00 Wita, peserta sudah tiba di Restoran Bidadari, kilometer 124, lokasi makan siang. Sekitar 150 meter dari restoran ada sebuah masjid besar. Cocok untuk sholat jumat.
Dari Nusa Dua, rombongan bergerak menuju kawasan Kuta dan Seminyak. Di semua persimpangan dijaga polisi. Mereka membantu mengamankan sekaligus mengarahkan para pesepeda, apalagi saat itu suasana masih sedikit gelap.
Pada jalan utama yang dilalui peserta Jelajah Bali Bike 2023, terutama dari arah Kuta, Seminyak hingga Tanah Lot, arus kendaraan bermotor mulai padat. Meski demikian, udara pagi itu terasa segar. Maklum, di kiri dan kanan jalan tampak padi sawah tumbuh subur dengan aliran air yang lancar dan bening.
Menjelang Tanah Lot, pemandangan sawah begitu indah. Sejumlah petani mulai berada di tengah sawah untuk membersihkan rumput dan lainnya.
Bahkan, selepas Tanah Lot, terutama di kawasan menuju Pantai Soka di Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, pemandangan sawah lebih menarik lagi. Bentangan sawah terasering nan hijau. Di sejumlah lokasi, sawah berada tidak jauh dari pesisir pantai. Di kejauhan tampak langit biru menawan.
Suasana ini memaksa sejumlah wisatawan asing juga rombongan sepeda berhenti sejenak mengambil gambar dan video. Hal ini menambah kekuatan daya tarik pertanian Bali dalam ikut menggerakan pariwisata.
“Rasanya adem, tenang dan bahagia saat gowes melihat pemandangan sawah yang subur, segar dan para petani sibuk bekerja. Didukung lagi dengan langit yang biru. Suasana seperti ini bikin hati bahagia. Melupakan segala kepenatan,” ujar Franes Susanto, pesepeda asal Jakarta.
Di Bali, keindahan panorama sawah menjadi daya tarik yang besar. Ada yang dijual menjadi lokasi foto persiapan nikah. Ada yang disediakan villa mungil dengan bangunan yang etnik di tengah sawah. Ada pula sawah yang letaknya tidak jauh dari pesisir pantai. Suasana alami ini yang diburu wisatawan kelas atas. Mereka meyakini proses healing berlangsung efektif dan manjur. Harga yang selangit tidak dipedulikan.
Tantangan terbesar yang dihadapi rute hari pertama yakni perjalanan dari Tabanan hingga Gilimanuk. Kami menghadapi banyak sekali kendaraan bermotor, terutama bus dan truk besar yang sedang berjalan dari Gilimanuk ke Denpasar maupun sebaliknya. Ini adalah jalur utama yang menghubungkan Jawa, Bali dan Lombok.
Hampir setiap detik, kendaraan besar lalu lalang di samping kanan. Arus yang padat ini menuntut pesepeda selalu waspada. Belum lagi rute yang dilalui umumnya persis di tepi pantai sehingga harus merasakan sengatan mahatari yang panas. Emosi dan energi pun terkuras habis.
Titi Mutiara, peserta asal Biak, Papua, mengaku nyaris patah semangat menghadapi arus kendaraan yang padat dan sengatan sinar matahari. Akan tetapi, semua kendala itu dapat teratasi berkat tekad yang bulat untuk mengelilingi Pulau Bali dari atas sadel sepeda.
“Truk dan bus besar yang lalu lalang setiap detik bikin gowes tidak nyaman. Kadang stres juga jika kendaraan itu ngebut. Tetapi, saya sudah niatkan mengayuh sepeda keliling Bali sampai tuntas, maka rintangan-rintangan itu saya kesampingkan,” ujar Titi yang juga dokter.
Wajah yang berbeda
Selepas Gilimanuk, terutama melewati lintas utara, kami seolah menghadapi wajah yang berbeda dari Pulau Bali. Bayangkan, dari Gilimanuk di barat hingga Desa Seraya Timur di timur sejauh kurang lebih 181,6 kilometer, arus lalu lintas sangat lengang. Mungkin dua hingga lima menit baru muncul kendaraan selama beberapa menit. Setelah itu lengang lagi.
Lalu lintas agak padat hanya terjadi di Singaraja. Keramaian di kota ini dimaklumi, sebab menjadi ibukota Kabupaten Buleleng. Sebelum Kemerdekaan Indonesia, Singaraja menjadi pusat Kerajaan Buleleng. Setelah kemerdekaan, Singaraja pernah menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Sunda Kecil yang terdiri atas: Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote dan Sabu serta pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Pilihan pada Singaraja bisa jadi akibat pengaruh Hindia Belanda yang selama masa penjahannya cenderung membangun kota di pesisir utara. Laut di utara selalu lebih tenang sehingga aman untuk kapal berlabuh sekaligus bongkar muat barang. Ini tentu melancarkan misi dagang dalam penjajahan Belanda. Singaraja juga merupakan kota pertama dan tertua di Bali. Tahun ini berusia 419 tahun.
Akan tetapi, pada Desember 1958, Sunda Kecil dimekarkan menjadi 3 provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Ibukota Provinsi Bali pun berpindah ke selatan, yakni Denpasar. Perpindahan itu sekaligus menjadi tonggak pembangunan wilayah selatan dan tengah Pulau Bali yang terus berkembang pesat hingga sekarang.
Jika di selatan, pantai-pantai yang ada berpasir putih. Sebaliknya di utara hingga timur Pulau Bali, pantai yang ada umumnya memiliki pasir hitam. Di banyak titik malah tidak berpasir. Yang ada hanya batu-batu kecil berwarna hitam.
Yang menarik lagi adalah suasana sepi ternyata menjadi kekuatan besar. Wisatawan asing berseliweran di pesisir utara. Lihat saja di Pemuteran. Di sana, berdiri puluhan vila dan resort. Setiap resort atau vila memiliki belasan hingga puluhan kamar.
Konsep yang diusung pun alami. Bangunan cenderung menggunakan material lokal, seperti kayu, bambu dan ilalang. Ada pohon di tengah vila atau resort. Tampilan etnik seperti ini sangat diminati wisatawan asing yang berburu suasana tenang dan sepi. Didukung tarif yang relatif lebih murah dibanding di kawasan Ubud, Sanur atau Uluwatu.
“Saya sudah berkali-kali berwisata di Bali, tetapi baru kali ini tahu Pemuteran. Daerah ini tenggelam dalam bayang-bayang Lovina dan Singaraja. Padahal, paling banyak diserbu wisatawan asing yang ingin menikmati suasana sepi dan tenang,” ujar Sayapan Sutartan, asal Bandung.
Di sepanjang pesisir utara, selain Pemuteran, ada lagi kawasan Menjangan, Lovina, Singaraja dan Amed yang berdiri banyak hotel, vila dan resort. Wisatawan domestik paling banyak menginap di Lovina dan Singaraja. Sebaliknya, wisatawan asing mendominasi Amed, Menjangan dan Pemutaran.
Amed yang menggeliat
Amed boleh dibilang salah satu wilayah yang istimewa di Bali. Di sana, kita dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam. Mahahari terbenam persis mendekati kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Pulau Bali, yang megah. Pantainya bersih. Ditambah lagi di pantai berlabuh perahu-perahu nelayan sehingga menambah sensansi panorama mengantar senja.
“Amed keren banget. Luar biasa indahnya. Kita mendapatkan paket komplit. Melihat matahari terbit dan terbenam di suatu titik yang sama,” ujar Tjhong Sudarman, asal Jakarta.
Saat ini Amed sedang menjadi incaran wisatawan asing dan investor. Resort dan vila mulai bertumbuh masif di kawasan itu. Kontur tanah yang miring dan bertebing nyaris tidak menjadi halangan untuk dibangun vila, resort, restoran dan café. Bahkan, kontur seperti itu malah yang paling banyak dicari, terutama yang menghadap ke laut. Panorama matahari terbit dan terbenam menjadi salah satu daya tarik.
Tanah yang miring dan tebing ditata sedemikian rupa sehingga menjadi begitu apik dan nyaman. Para investor berani menggelontorkan modal dalam jumlah yang besar demi menampilkan bangunan yang terbaik guna menyedot wisatawan.
“Jika melihat maraknya bangunan vila, resort, hotel, café dan restoran berkembang di Amed dengan disain-disain yang menarik dan unik, rasanya nilai investasi yang tertanam selama lima tahun terakhir tidak sedikit. Mungkin sudah mencapai triliunan rupiah,” jelas Gede Cakra.
Akan tetapi, investasi swasta yang begitu besar belum diimbangi dengan perhatian pemerintah. Bayangkan, hingga kini jalan utama di Amed belum dibangun trotoar. Padahal, wisatawan asing lebih suka berjalan kaki selama berada di dalam sebuah kawasan wisata. Akibatnya, para pejalan kaki dipaksa harus berebut jalur dengan kendaraan bermotor. Apalagi ruas jalan yang ada hanya memiliki lebar sekitar 5 meter.
Selain itu, jalan dari Amed hingga menjelang Candi Dasa umumnya memiliki lebar tidak lebih dari 5 meter. Di beberapa titik, kondisi jalan sedang rusak. Banyak pula tanjakan dan turunan. Jika berpapasan, maka salah satu kendaraan harus mengalah. Padahal, jalur ini yang paling dekat menghubungkan Amed dengan Sanur, Nusa Dua, Kuta, Legian dan Denpasar.
Krishna Iskandana, pesepeda asal Bandung menyatakan, pemerintah di Bali biasanya sangat peduli terhadap pembenahan instrastruktur di kawasan pariwisata. Jalan selalu lebar dan beraspal mulus. Tidak lupa juga dibangun trotoar yang bagus. Tetapi, hal ini nyaris tidak tampak di Amed.
Dia mendorong pemerintah segera memberi perhatian yang lebih pada Amed. Dia meyakini tak lama lagi Amed bakal menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Bali bagi para wisatawan domestik dan mancanegara. “Dari sisi view, terutama saat matahari terbenam dan terbit, menurut saya Amed termasuk yang terindah di Bali. Makanya, jangan tinggalkan Bali sebelum mengunjungi Amed,” ungkapnya.
Bersepeda mengelilingi Pulau Bali sungguh mengasyikan. Semakin mengayuh jauh, semakin memperkaya pengalaman tentang Bali. Bukan semata-mata tentang keindahan panorama alam dan tradisi setempat yang mengental, melainkan juga keberagaman dan persaudaraan. Tentang kelebihan dan kekurangan. Semua itu tampak jelas dan nyata dari atas sadel sepeda. Fantastis!!!
Ahmad Azwat Bakty Ab Rahim asal Kuala Lumpur, Malaysia mengaku telah mendapatkan pengalaman yang sungguh menyenangkan dari bersepeda mengelilingi Pulau Bali. Alam yang indah. Masyarakat yang ramah. Jalan yang dilalui beraspal mulus. Fasilitas sangat bagus. Pelayanan dari panitia sungguh memuaskan.
“Pengalaman yang bagus ini insyaallah akan kami ceritakan kepada pegowes di Malaysia. Kami akan kembali mengayuh sepeda lagi di Bali dan daerah lain di Indonesia,” kata Azwat yang dibenarkan Nurazlynda Mohd Aris juga asal Malaysia.
Baca juga: