Turunkan Harga Tes PCR !!

tanggal:

Share post:

Rapid test antigen telah menjadi salah satu metode untuk mengetahui penyebaran virus corona (Covid)-19. Foto: Jannes Eudes Wawa

Mulai Minggu (24/10/2021) pemerintah mewajibkan tes COVID-19 dengan menggunakan metode berantai polymerase atau PCR bagi penumpang pesawat udara. Kebijakan ini dinilai sebagai metode terbaik dan efektif untuk mencegah penularan virus itu pada penumpang pesawat. Akan tetapi, kebijakan ini tidak disertai dengan penurunan biayanya sehingga dinilai menimbulkan pertentangan yang sengit.

Memang kebijakan ini terkesan janggal. Bayangkan, selama beberapa bulan ini sejak meledaknya kasus Covid-19 gelombang kedua pada Juli-September 2021 dimana saat itu wilayah Jawa dan Bali masuk Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 dan 3, warga yang melakukan perjalanan menggunakan pesawat dibolehkan menggunakan tes  antigen negatif 1x 24 jam bagi yang sudah vaksinasi dua dosis. Bagi yang baru sekali vaksinasi wajib menunjukkan hasil tes PCR negatif dalam 2×24 jam.

Kini, ketika kasus Covid-19 terus melandai, bahkan wilayah Jakarta dan sekitarnya serta kota-kota besar lain di Pulau Jawa dan Bali sudah masuk level 2, kebijakan perjalanan menggunakan pesawat malah diperketat. Sementara itu, perjalanan darat di Pulau Jawa dan wilayah lainnya dibolehkan menggunakan hasil rapid tes antigen negatif.

Lantas timbul pertanyaan; mengapa pemerintah memperketat perjalanan menggunakan pesawat di saat kasus Covid-19 mulai melandai? Bukankah saat ini pemerintah pun telah mengizinkan keterisian penumpang dalam pesawat mencapai 100 persen dari kapasitas kursi yang tersedia?

Ada pula alasan lain terkait penerapan kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dengan Transportasi Udara Pada Masa Pandemi COVID-19 itu. Pertama, seiring melandainya kasus Covid-19 di Indonesia, penerbangan domestic mulai diizinkan mengangkut anak berusia 12 tahun ke bawah. Mereka adalah kelompok usia yang sejauh ini belum mendapatkan kesempatan untuk divaksinasi.

Kedua, PCR dinilai sebagai metode yang terbaik dan lebih sensitif dari metode antigen sehingga diharapkan mampu menapis dan merekam kasus Covid-19.

Argumentasi pemerintah ini memang benar. Namun hal itu menimbulkan tanda tanya lagi. Mengapa kebijakan mewajibkan tes PCR hanya berlaku untuk perjalanan udara? Jika PCR dinilai lebih bagus dalam menapis dan merekam kasus Covid-19, mengapa tidak diberlakukan juga untuk perjalanan darat, laut dan kereta api?

Benarkah transportasi udara lebih rawan terkena virus Covid-19 dibanding transportasi lainnya? Bukankah waktu tempu perjalanan laut, darat dan kereta api jauh lebih lama dibanding menggunakan pesawat?

Sebetulnya terkait perjalanan, masyarakat tidak keberatan penggunaan metode apa pun untuk mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19.  Mau PCR, rapid tes antigen atau metode lainnya. Yang terpenting bagi masyarakat adalah pilihan metode yang diterapkan pemerintah harus aman, lancar, tersedia dimana saja, dan harga yang terjangkau.

Pemerintah terus menggalakkan vaksinasi bagi warga berusia 12 tahun ke atas. Vaksinasi dinilai sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh dari serangan Covid-19. Foto: dokumen jelajah bike

Terlalu mahal

Saat ini harga tes PCR masih sangat mahal. Biaya paling rendah untuk di Jakarta dan sekitarnya yakni Rp 425.000 dengan hasil keluar 1 x 24 jam. Jika mengingikan hasilnya keluar sekitar enam jam, maka harganya bisa mencapai Rp 900.000. Di luar Jawa, harga ini selalu lebih mahal lagi.

Masalah lain untuk wilayah di luar Jawa adalah tidak semua kota memiliki laboratorium untuk memeriksa sampel tes PCR. Sampel yang dikumpulkan di daerah harus dikirimkan lagi ke sejumlah laboratorium di Jakarta dan kota besar lainnya untuk diperiksa. Setelah itu, hasilnya dikirimkan melalui daring, sehingga waktu 2 x 24 jam pun kadang tidak tercukupi.

Jika seseorang hendak melakukan penerbangan pergi pulang, maka yang bersangkutan harus dua kali melakukan tes PCR. Biaya yang bakal dihabiskan begitu besar. Bahkan biaya yang dihabiskan untuk bayar tes PCR tidak beda jauh dengan harga tiket pesawat.

Itu sebabnya, kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat berpeluang menghambat mobilitas masyarakat dari dan menuju Pulau Jawa dan Bali. Hambatan tersebut berpotensi mengganggu perputaran ekonomi, terutama bagi wilayah di luar Jawa dan Bali.

Jika hal ini semakin lama dipertahankan hanya memperparah ketimpangan ekonomi masyarakat. Wisatawan domestik dari Jaakarta, misalnya, bakal berpikir ulang untuk berwisata di Bali, sebab harus mengalokasikan biaya tes PCR yang mahal. Akibatnya, ekonomi Bali tetap terpuruk meskipun kasus Covid-19 sudah melandai.

Jalan keluar

Perlu disadari meski kasus Covid-19 terus menurun tajam, tetapi bukan berarti virus ini segera lenyap dari bumi. Lihat saja di Inggris dan Rusia saat ini kasus postif Covid-19 meningkat lagi. Artinya, kita di Indonesia tidak boleh lengah dan kendor. Protokol kesehatan harus terus dipatuhi dan dijalankan secara tertib dan ketat. Termasuk melakukan vaksinasi  dua dosis.

Baca juga: Jelejah Komodo Digelar Akhir November 2021

Selain itu, skrining kasus Covid-19 pun harus terus dilakukan secara berkelanjutan. Tes PCR menjadi salah satu pilihan metode terbaik dalam mengetahui penyebaran wabah mematikan tersebut. Metode ini memiliki sensifitas yang tinggi untuk merekam Covid-19.

Untuk itu langkah yang perlu segera dilakukan antara lain; Pertama, menurunkan biaya tes PCR dengan harga paling mahal sekitar Rp 150.000. Semakin murah akan semakin bagus, bahkan memberikan gairah warga melakukan tes PCR pun semakin tinggi.

Kedua, pemerintah juga perlu secepatnya memperbanyak laboratorium pemeriksaan sampel tes PCR, terutama di ibukota kabupaten. Bila perlu mendorong swasta melakukan investasi dalam usaha ini.

Ketiga, waktu pelaporan hasil tes PCR perlu diperpendek. Jangan seperti selama ini, urusan waktu pelaporan hasil tes telah berkembang menjadi bisnis baru. Jika jalur ekspres yakni di bawah 6 jam harganya dua kali lipat dari yang berlaku umum. Sebaliknya waktu tunggu 1×24 jam diterapkan harga normal. Praktek seperti ini tidak adil.

Keempat, apabila pemerintah tidak sanggup melakukan ketiga hal tadi, maka pilihan lain adalah menerapkan kebijakan lama, yakni bagi yang sudah dua kali vaksinasi hanya menunjukkan hasil tes antigen 1×24 jam sebelum melakukan perjalanan udara. Harga tes antigen yang kini berkisar Rp 95.000-Rp 110.000 telah sangat menolong warga.

Skrining perjalanan memang penting, tetapi jangan sampai kebijakan itu memberatkan lagi warga di tengah krisis ekonomi yang amat mendalam akibat Covid-19. Penggunaan rapid tes antigen negatif dalam 1×24 jam yang diberlakukan selama ini boleh dibilang sudah ideal; Harga terjangkau, tes dapat dilakukan dimana saja dan hasilnya langsung diketahui dalam waktu 20-30 menit. Hal ini juga yang diharapkan dari penerapan tes PCR.

JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related articles

Dari Minangkabau, JCS Ingin Mengayuh Jauh

Oleh: JANNES EUDES WAWA Dunia balap sepeda di Indonesia bakal semakin semarak menyusul lahirnya event baru: Jelajah Cycling Series....

JCS Minangkabau, Tanjakan Sitinjau Lauik Dilibas Sekejab

Oleh: JANNES EUDES WAWA Tanjakan Sitinjau Lauik sangat melegenda di Sumatera Barat. Tanjakan sejauh kurang lebih 15 kilometer tersebut...

Mengayuh Di Antara “Camping” dan “Rafting”

Oleh: JANNES EUDES WAWA Pangalengan di wilayah selatan Bandung telah menjelma menjadi surga bagi wisatawan yang ingin menikmati alam...

REGISTRASI SUSUR PANGALENGAN 2023

Mengayuh sepeda kini tidak sekedar olahraga, melainkan telah berkembang menjadi gaya hidup, relaksasi, wadah berkumpul dan bersilaturahim. Itu...