Engkun Kurnia begitu bersemangat ketika diajak bercerita seputar Bukit Barisan di Sumatera. Bayangan liarnya langsung tertuju kepada Jelajah Lima Danau, perjalanan bersepeda selama lima hari yang dimulai dari Kota Padang, Sumatera Barat, dan berakhir di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang pernah diikuti beberapa waktu lalu.
Lelaki asal Kota Bandung, Jawa Barat ini mengaku sangat terkesan dengan touring sepeda itu. Dia mendapatkan banyak pengalaman yang berharga. Selain masyarakatnya yang cukup ramah, tetapi yang selalu terbayang adalah panorama yang indah, duren yang berlimpah dan enak, jalurnya yang tidak terlalu padat dan beraspal mulus, serta tradisi budaya yang begitu kental. “Dimana-mana selalu ada rumah gadang yang menarik dan unik,” kata Donkum, panggilan akrab Engkun Kurnia.
“Panorama Bukit Barisan sepertinya tidak cukup hanya dinikmati dalam sekali perjalanan bersepeda. Kelok 44, misalnya, rute yang menantang banget, dan selalu bikin ketagihan. Begitu pula dengan Jam Gadang di Bukit Tinggi. Masih banyak lagi. Makanya, pingin banget touring sepeda lagi di wilayah sana,” tambahnya.
Di mata Donkun, Bukit Barisan tergolong istimewa. Bayangkan, dari kawasan pegunungan yang terbentang dari Aceh hingga Lampung itu muncul puluhan sungai besar, antara lain Sungai Asahan, Sungai Barumun, Sungai Batanghari, Sungai Kampar, Sungai Indragiri, Sungai Lematang, Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Mesuji, dan Sungai Musi.. Artinya, Bukit Barisan merupakan jantung kehidupan masyarakat Sumatera, dan Indonesia pada umumnya.
Di sekitar sungai-sungai besar itu selalu ada kehidupan masyarakat dengan beragam tradisi. Di masa lalu, sungai menjadi urat nadi ekonomi. Masyarakat setempat untuk bepergian kemana saja, termasuk ke kawasan pesisir pantai di kawasan hilir dan hilir hanya mengandalkan jalur sungai. Ada banyak perahu dalam berbagai ukuran siap melayani masyarakat.
Seiring perkembangan peradaban, jalur transportasi darat pun mulai dibuka, perlahan tetapi pasti, jalur sungai pun mulai ditinggalkan masyarakat. Peralihan itu dilakukan karena jalur darat dinilai lebih praktis dan cepat.

Namun perubahan itu tidak otomatis menggerus budaya setempat. Segala tradisi terpelihara dengan baik. Salah satunya yakni keberadaan rumah gadang, rumah adat masyarakat Minangkabau. Rumah gadang itu kini telah menjelma menjadi magnet yang luar biasa dalam menarik wisatawan ke Sumatera Barat.
“Wisatawan dari mana pun, baik mancanegara maupun domestik yang datang ke Sumatera Barat selalu menjadi rumah gadang selalu salah satu tujuan utama. Bentuk rumah yang unik dengan segala arsitekturnya yang bernilai seni tinggi menjadikan wisatawan ingin berfoto,” jelas Oki Sapto Wiharjo, pesepeda yang juga pemandu wisata di Sumatera Barat.
Tempat lain yang perlu dikunjungi adalah Sawahlunto. Di masa lalu, terutama sejak tahun 1870 Sawahlunto terletak sekitar 95 kilometer dari arah timur laut Kota Padang terkenal sebagai salah satu pusat pertambangan batu bara oleh pemerintah Hindia Belanda. Tambang itu berproduksi mulai 1892. Sudah puluhan tahun tambang batu bara tidak lagi beroperasi, dan jalur pengakutannya serta bangunan-bangunan tua yang ada terjaga dengan baik, sehingga berkembang menjadi wisata tambang yang menarik.
Pacu jawi
Lokasi lain yang tidak kalah menarik adalah Batusangkar. Kota kecil di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tidak jauh dari Danau Singkarak ini merupakan daerah asal nenek moyang atau lelulur orang Minangkabau. Yang menarik juga dari Batusangkat adalah panorama alam yang menarik.
Salah satunya di antaranya adalah sawah-sawah berjejer. Bila musim panen tiba, saat padi telah selesai dipanen dan dibawa ke lumbung, sawah-sawah yang digenangi air digunakan untuk Pacu Jawi. Pacu jawi merupakan sebuah pesta masyarakat Minangkabau dimana laki-laki mengendarai sapi di tengah lintasan sawah penuh air dan lumpur. Permainan tradisional ini berbeda dengan karapan sapi di Madura, sebab di sana permainan dilakukan di lapangan, sedangkan di Batusangkar digelar di lahan sawah.
Sebelum pacu jawi digelar, didahului dengan arak-arakan jawi atau sapi. Sapi yang mengikuti lomba dihias dan diarak menuju arena pacu dengan diiringi musik tradisional Talempong. Ibu-ibu mengenakan pakaian adat dengan menyunggi bakul berisi makanan. Bakul dibuka jika acara sahut-sahutan pantun antardatuk selesai. Saat arak-arakan memasuki arena, jawi akan disambut tarian.
Setiap tahun, pacu jawi digelar secara bergiliran selama empat minggu di empat kecamatan di Kabupaten Tanah Datar, yakni Pariangan, Rambatan, Lima Kaum dan Sungai Tarap. “Saya selalu penasaran dengan wilayah Sumatera Barat. Jarak antarkota tidak terlalu jauh, punya kekayaan budaya dan tradisi yang luar biasa, serta memiliki alam yang menakjubkan. Kalau dibikin lagi jelajah sepeda di Sumatera Barat, dan wilayah lain sekitarnya pasti selalu menarik,” ujar Diah Kusumo Dewi, karyawan bank di Jakarta yang juga penggemar touring sepeda.

Menurut Oki, berjelajah sepeda di kawasan Bukit Barisan juga sangat diminati pesepeda dari Malaysia dan Singapura. Setiap tahun selalu ada beberapa kelompok pesepeda dari kedua negara itu datang ke Sumatera Barat untuk bersepeda. Mereka biasanya habiskan waktu tiga sampai lima hari untuk bersepeda, jelajah kuliner, kunjungi rumah gadang dan beberapa tempat wisata lainnya. Di Malaysia, misalnya, ada pihak yang menjual paket bersepeda di wilayah Minangkabau,” jelas Oki yang beberapa kali menemani pesepeda dari Malaysia selama touring di Sumatera Barat. (Jannes Eudes Wawa/habis)