
Raut wajah peserta Jelajah Komodo tampak sumringah begitu tiba di kampung adat Waerebo pada Jumat (26/11/2021) sore. Ada yang langsung melompat bahagia, ada pula saling berpelukan dengan teman sesama pesepeda. Bahagia itu seolah langsung melupakan “derita” jalan kaki sejauh lima kilometer dari Pos Satu, serta bersepeda 42 kilometer melewati sebagian besar jalan berbatu dari Lembor hingga Denge.
“Hampir semua wilayah di Flores ini sudah saya kunjungi. Tetapi belum pernah ke Waerebo. Baru kali ini saya ke sini. Beruntung ada Jelajah Komodo sehingga saya bisa melunaskan niat saya ke Waerebo. Menyenangkan sekali,” kata Maswarni, pesepeda asal Bandung.
Verahwati Widjaya, pesepeda asal Gorontalo juga tidak kalah bahagianya. Padahal, saat baru memulai berjalan kaki dari pos satu, dia sebetulnya hampir menyerah, dan ingin kembali ke Denge. Dia merasa tidak sanggup trekking dengan kondisi jalan menanjak. Lebih nyaman gowes jalan menanjak daripada berjalan kaki. Tetapi, sang suami Marwan Bulain terus memberi semangat sehingga dia pun terus maju.
Begitu tiba di Waerebo, dia begitu bahagia. “Kelelahan saya terbayar lunas. Sungguh sangat bahagia melihat dari dekat. Luar biasa indahnya Waerebo. Senang sekali bisa inap di kampung adat yang indah ini. Kalau saya upload (menguduh) foto-foto saya di Waerebo ke medsos pasti heboh,” ujar ibu dua anak tersebut.
Finish di Waerebo merupakan rute hari kedua Jelajah Komodo. Hari itu peserta gowes dari Lembor menuju Denge sejauh 42 kilometer. Denge merupakan kampung terakhir sebelum ke Waerebo. Jalur ini menyusuri pantai selatan Flores.
Meski jarak pendek, gowes di jalur tersebut sungguh menyiksa. Kerusakan jalan dan jembatan terjadi di banyak titik. Ada yang aspalnya terkelupas. Ada pula yang masih berupa batu yang diratakan dengan alat berat.
Rute ini melewati wilayah Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai. Kerusakan jalan terberat terjadi di wilayah Kabupaten Manggarai. Kampung adat Waerebo berada dalam wilayah Manggarai.
“Gowes dari Lembor hingga Denge cukup menderita. Kondisi jalan yang rusak membuat kami nyaris putus asa. Panorama pantai yang indah berpasir putih, hamparan batu bulat, bahkan ada pula sawah di beberapa titik memaksa kami lanjutkan gowes agar bisa swafoto dengan sepeda,” kata Erik, panggilan Zulhelneri, lelaki asli Minangkabau yang sudah sangat lama menetap di Bandung.
Pesepeda lainnya, terutama yang menggunakan sepeda lipat dan sepeda balap pun terus bersungut saat melewati jalan yang rusak tersebut. Jalan rusak yang begitu panjang membuat gowes tidak nyaman.

Rute ini merupakan jalur terpendek menuju Denge, kampung terakhir menuju Waerebo dari Labuan Bajo. Jika menggunakan mobil pribadi atau minibus hanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Itu pun karena kondisi jalan yang rusak parah. Apabila jalan beraspal mulus, waktu tempu bakal lebih pendek lagi.
Jalur lain melalui Cancar, yakni bagian tengah Kabupaten Manggarai. Namun jaraknya lebih jauh lagi. Membutuhkan waktu berkisar 6 hingga 7 jam perjalanan dari Denge ke Labuan Bajo atau sebaliknya. Kondisi jalan di jalur ini pun sama seperti di Nangalili, yakni jalannya rusak berat.
Kerusakan jalan ini sudah berlangsung sangat lama, tetapi sama sekali tidak ada perhatian dari pemerintah pusat dan daerah. Selama 4 tahun terakhir, perbaikan jalan hanya sekitar lima kilometer dari Dintor ke Denge, serta pembangunan sebuah jembatan di pantai selatan.
Para peserta Jelajah Komodo tidak habis pikir dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Bayangkan, kampung adat Waerebo sudah lama mendunia. Wisatawan dunia telah menjadikan Waerebo sebagai salah satu tujuan utama saat mengunjungi Flores, tetapi kerusakan jalan menuju Denge sama sekali tidak diperbaiki. Jalan dan jembatan masih dibiarkan rusak.
“Tahun 2017, kami pernah datang ke Waerebo, kondisinya jalan rayanya tidak banyak berubah. Jika pemerintah daerah dan pemerintah pusat peduli dengan Waerebo, maka segera bangun jalan raya yang lebih baik menuju Denge,” tegas Octovianus Noya, pesepeda asal Jakarta.
Jelajah Komodo diikuti 62 pesepeda. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia antara lain Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, Bandung, Cimahi, Malang, dan Gorontalo. Kegiatan selama 4 hari itu meliputi 3 hari pertama bersepeda Labuan Bajo ke Waerebo pergi pulang. Lalu hari berikutnya berwisata ke Pulau Padar, Pulau Komodo dan pantai pink.
Di Denge, kami menyinggahi rumah bapak Blasius Monta, sesepuh masyarakat adat Waerebo yang menjadi Kepala Sekolah Dasar (SD) Katolik Denge. Rumah itu juga merupakan Pusat Informasi Waerebo. Tersedia pula penginapan. Tempat ini menjadi rumah singgah bagi pengunjung Waerebo. Di sana, kami mandi dan berganti pakaian. Untuk perjalanan ke Waerebo, peserta disarankan hanya membawa beberapa potong pakaian untuk keperluan malam itu dan keesokan harinya.
Sepeda dan semua kendaraan pendukung touring sepeda Jelajah Komodo dipakirkan di Denge. Dari rumah milik Blasius, satu demi satu peserta diangkut dengan ojek motor menuju Pos Satu berjarak sekitar dua kilometer melewati jalan tanjakan disertai tikungan tajam. Mobil dilarang masuk kawasan Pos Satu. Pengggunaan ojek untuk pengunjung Waerebo sebagai pemberdayaan terhadap pemuda setempat. Tarif ojek untuk sekali jalan sebesar Rp 50.000.
Proyek yang menganggu
Dari pos satu, pengunjung Waerebo berjalan kaki melewati hutan yang lebat dan padat dengan kontur menanjak. Udaranya begitu sejuk dan segar. Pada kilometer pertama, tampak ruas jalan itu sudah dipasang batu-batu ceper yang dilapisi semen. Sepeda motor pun diizinkan melintas di jalur itu. Suara bising kendaraan ini sangat mengganggu para pengunjung yang sedang berjalan kaki menuju ke atau kembali dari Waerebo.

Jalan yang disemen dibikin dengan kontur menanjak. Dinding tanah pun dipangkas untuk melebarkan badan jalan, dan tanpa dibangun penahan. Jika hujan lebat, dinding tanah itu berpotensi longsor. Bahkan, jalan yang bersemen pun bakal dipenuhi lumut dan berlicin sehingga bisa mengganggu perjalanan para pejalan kaki.
“Saya tidak mengerti dengan konsep membangun jalan bagi pengunjung Waerebo. Proyek ini bukan membuat pejalan kaki menjadi lebih nyaman, melainkan berpeluang menimbulkan cidera. Kesannya hanya sekedar membangun tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan kenyamanan pejalan kaki. Apalagi memberi ruang sepeda motor untuk melintas,” tegas Hengkie Benjamin, pesepeda yang juga pendaki gunung tinggal di Jakarta.
Leontinus Alpha Edison, pesepeda lainnya juga mengaku kecewa dengan proyek pengerjaan jalan setapak menuju kampung adat Waerebo. Proyek itu dinilai hanya merusak keunikan Waerebo. Dia menduga, aparat pemerintah yang merencanakan proyek itu belum pernah ke Waerebo dan melihat dari segala sisi sebelum membuat perencanaan proyek.
“Sebaiknya dipertahankan kondisi tradisionalnya. Justru daya tarik wisatanya adalah unsur experience dan adventure. Pengunjung harus hikking melewati hutan dengan pengalaman yang beda total,” tegas Leontinus yang juga salah satu pendiri Tokopedia.
Inap semalam
Di Waerebo, peserta Jelajah Komodo menginap semalam di rumah adat yang ada. Mereka menikmati udara yang sejuk bersih dan dingin sekaligus panorama yang unik pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Beberapa di antara mereka menikmati kopi arabica. Kopi arabica Waerebo termasuk salah satu yang terbaik di dunia.
Kampung adat Waerebo memiliki tujuh rumah adat (Mbaru Niang) berbentuk kerucut. Ketujuh rumah itu letaknya berdekatan. Salah satu unit di antaranya dijadikan sebagai tempat inap para tamu. Hampir setiap hari, wisatawan asing dan domestik mengunjungi Waerebo. Mereka umumnya menginap minimal semalam.
Pada 16 November 2021 atau seminggu sebelum peserta Jelajah Komodo tiba, masyarakat adat Waerebo menggelar upacara Penti. Ini adalah perayaan tahun baru dalam perhitungan adat setempat. Penti adalah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen yang telah diperoleh dan kehidupan yang telah dilalui selama setahun terakhir.
November disebut juga bulan awal bertanam, sebab warga setempat yang mayoritas petani sehingga awal tanam dijadikan sebagai pertanda untuk memulai yang baru. Itulah disebut sebagai tahun baru. Dalam ritual itu mereka juga memohon perlindungan dan keharmonisan kepada para leluhur dan Tuhan Yang Maha Kuasa selama setahun ke depan.
Ritual Penti berpusat di Mbaru Gendang, satu dari tujuh rumah adat yang ada. Ritus bermula dari tembang yang didendangkan oleh tertua adat dengan diiringi gendang, berlanjut dengan prosesi menuju lingko, sumber air dan makam leluhur. Selepas itu, mereka kembali lagi ke Mbaru Gendang.

Dalam ritual itu, mereka juga mengundang arwah leluhur untuk mengikuti upacara Penti. Saat perayaan tarian Caci, tarian khas Manggarai, juga ditampilkan di halaman rumat adat.
Sore harinya, di compang atau altar panembahan, digelar upacara Boa oleh tetua adat dengan mempersembahkan ayam untuk menghormati para leluhur. Malam harinya dilakukan lagi upacara pemberkatan dibarengi dengan mempersembahkan hewan seperti ayam dan babi. Saat puncaknya dilantunkan syair-syair adat yang menggema saat malam perayaan Penti.
Qurniawansyah, pesepeda asal Palembang mengaku sangat terkesan. Bukan hanya bangunan rumah adat yang unik, tetapi untuk menuju lokasi pun membutuhkan perjuangan yang menuntut daya tahan yang tinggi.
“Semua itu terbayar lunas begitu berada di Waerebo. Benar-benar indah, menawan. Hidup tanpa terganggu telepon seluler. Siapa pun yang datang pasti senang dan bahagia. Pengelolaannya sudah memadukan segala aspek baik pelestarian maupun pariwisata serta pemberdayaan ekonomi,” jelasnya.
Setelah tim Jelajah Komodo pulang, pada 2 Desember 2021, datang pula Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno ke Waerebo. Bahkan, kabarnya pada 18 Desember 2021 ini, Presiden Joko Widodo pun mengunjungi Waerebo.
Banyak orang berharap Presiden Jokowi tidak menggunakan helikopter melainkan menggunakan jalur darat. Dengan bermobil menuju Denge, Jokowi bisa ikut merasakan penderitaan yang selama ini dialami wisatawan menuju ke maupun dari Waerebo yang harus melewati jalan rusak yang begitu parah.
Baca juga:
Tulisan yg informasi dan bermanfaat.
Smoga dibaca oleh pihak berwenang dan terkait.
Penduduk Lembor bahkan sdh 1 thn kesulitan bersawah. Krn 3 sumber pengairan sawah mereka ditutup. Entah sampai kapan.
Makasih om. Semoga begitu om. Alinea terakhir ada harapan jika Jokowi jadi ke Waerebo sebaiknya bermobil agar bisa merasakan jalan rusak hahaa
Wuahh terima kasih tulisan perjalannya om, saya hobbynya naik gunung n jadi pengen banggeeet trekking ke Waerebo untuk menikmati keelokannya.
Smoga jalan yg rusak dapat segerq diperbaiki ama Pemda setempat 🙏🙏🙏
Coba luangkan waktu berkunjung ke Waerebo, om. Ada sensasi yang menarik. Kalau menggunakan mobil, kondisi jalan ini masih bisa dilewati dengan baik meski tidak terlalu nyaman.