Oleh MAESA NYOMAN
“Ketika kesulitan itu datang, hanya orang-orang tangguh yang tetap berjuang”
Urat-urat paha saya mulai terganggu di saat sedang melahap medan bergelombang pada jalan raya di Barat Bali, tepatnya setelah mulai melewati Kota Tabanan.
Hari itu, Senin, 17 Januari 2022. Saya bersama sahabat saya Pak Yusuf Paulus (Yupa) memutuskan bersepeda mulai dari Legian hingga Pantai Medewi di batas Kabupaten Jembrana, wilayah administrasi terbarat dari pulau Bali yang indah ini, sejauh kurang lebih 75 kilometer.
Jarak perjalanan terbilang moderat ini sudah diatur oleh pak Yupa, pesepeda asal Jakarta. Gowes ini sebagai pemanasan untuk memulai perjalanan menuju ke Banyuwangi, Jawa Timur.
Gowes hari itu ternyata berat juga. Otot saya pegal dan paha saya nyaris kram. Latihan bersepeda yang saya lakoni selama ini: 3 kali dalam seminggu dengan jarak tempuh rata-rata 20 kilometer dalam setiap latihan belum cukup memadai untuk melatih otot.
Fotografi dan sepeda
Hari itu adalah gowes hari pertama dalam perjalanan kami untuk merayakan 10 tahun mulai bersepeda bersama komunitas sepeda bernama Dungdung. Komunitas sepeda ini bertransformasi dari sebuah klub fotografi, dimana semua anggotanya adalah mantan murid dari seorang guru fotografi terbaik Indonesia, bapak Kumara Prasetya. Pak Kumara tergolong guru yang sangat sabar di Cannon School.
Teman-teman yang tergabung dalam perkumpulan ini berasal dari pelbagai kalangan dan profesi, tetapi memiliki minat yang sama, yakni fotografi dan kegiatan outdoor. Lalu pada awal tahun 2012, menjelang persiapan pensiun, muncul ide dari Pak Yusuf Paulus untuk memulai hobi yang lebih sehat dengan bersepeda.
Bersama beberapa sahabat, kami mulai bersepeda di sekitar kawasan Bintaro (Sirkuit JPG), BSD, Cibubur dan tempat lainnya. Bahkan, beberapa kali langsung menjajal trek NuRa atau Telaga Warna. Kebetulan tren bersepeda gunung pada masa itu sedang bangkit lagi.
Dime Con Quién Andas y Te Diré Quien Eres. “Teman-teman terdekatmu adalah cerminan pribadimu”.
Walaupun usia komunitas sepeda Dungdung baru 10 tahunan, tetapi persahabatan kami melampaui batas waktu tersebut. Kami telah berteman sangat lama melalui dunia nyata dan dunia maya.
Itu sebabnya, di antara kami memiliki frekuensi yang hampir sama. Topik pembicaraan pun selalu nyambung. Lelucon-lelucon garing dan konyol pun (walau di dunia maya), sudah terbiasa yang mungkin terdengar janggal bagi kalangan di luar komunitas. Kebersamaan kami di dunia maya begitu menonjol dalam pergaulan di situs fotografer.net yang diasuh sahabat kami, Bung Kristupa Saragih (alm) bersama Bung Valens Riyadi.
Setelah itu, disusul lagi bersama-sama tergabung dalam komunitas sepeda Kompas yang gencar mengenalkan keindahan dan pesona alam Indonesia serta budaya melalui jelajah sepeda. Mengenal Indonesia dari atas sadel sepeda.
Mengendalikan kecepatan
Kembali ke rasa pegal yang nyaris membuat keram otot paha dan betis itu. Melihat kondisi saya ini pak Yupa sempat menyarakan agar kami mulai belajar untuk bersepeda lebih pelan. Pengurangan kecepatan itu bukan berarti kami sebelumnya adalah Speed Demon atau Long Distance Addict, ettapi lebih mengarah pada pengendalian kecepatan rata-rata kami dari sebelumnya 20 kilometer per jam dan sekarang coba diturunkan menjadi 15 kilometer per jam.
Alasannya, jika kita belajar bersepeda lebih pelan, tentu akan konsisten dan kemungkinan untuk finish sesuai rencana lebih besar. Karena kami ingin belajar dari pengalaman sebelumnya kadang target kota yang dituju hari itu tidak tercapai karena terlalu jauh, atau kondisi badan yang kurang fit sehingga perjalanan sedikit terganggu. Padahal, seni dari kemenangan adalah belajar dari kekalahan.
El Arte de Vencer se Aprende en las Derrotas
Perjalanan hari pertama menuju Pantai Medewi berhasil kami lakukan dengan baik. Esok harinya melanjutkan ke Banyuwangi dan Taman Nasional Baluran, batas barat wilayah Kabupaten Banyuwangi.
Di kawasan Taman Nasional Bali Barat harus melewati medan yang cukup berbukit, lalu melahap tanjakan halus menuju kota Negara. Perjalanan ini membuat otot saya pegal tak berkesudahan. Sepertinya latihan bersepeda 20 kilometer sebelumnya sambil mencari sarapan nasi ayam itu, kurang ampuh.
Namun demikian, saya tidak menyerah. Apalagi ada godaan untuk makan siang Ayam Tutu Men Tempeh di terminal bus Gilimanuk menjadi pelipur lara. Semangatku terus membara.
Sebelum memasuki Kota Negara, kami terlebih dahulu melakukan rapid tes antigen. Hasilnya negatif sehingga kami melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk. Di sana, melakukan pembelian tiket kapal secara daring; mekanisme pembelian tiket yang baru dalam era pendemi ini. Lalu berlanjut melakukan validasi hasil tes antigen positif, dan masuk ke kapal penyeberangan menuju Ketapang, Banyuwangi.
Pelayaran kami dari Gilimauk ke Ketapang hari itu diiringi hujan lebat dan badai. Bahkan, hingga kapal kami merapat di Pelabuhan Ketapang pun hujan tetap deras.
Melihat kondisi ini, kami memutuskan menyewa angkutan umum untuk mengantar ke penginapan (homestay) Bima yang berada di sebelah timur Taman Nasional Baluran. Keputusan ini boleh dibilang tepat, sebab bersepeda di tengah hujan deras berisiko tinggi. Apalagi, saat itu sudah menjelang senja.
Sama halnya ketika melihat bahwa seekor burung di tangan jauh lebih baik dibanding dua ekor burung di semak-semak. Lebih baik konservatif terhadap risiko, dibanding mengambil risiko-risiko yang yang mungkin lebih tinggi jika dijalani.
Menikmati panorama
Mas Vale Pájaro en Mano Que Cien Volando
Keesokan hari, dari penginapan kami bersepeda menuju Taman Nasional Baluran pergi pulang sejauh 32 kilometer. Perjalanan ini sungguh nikmat. Kami melihat dari dekat dan merasakan pesona kawasan Evergreen, savana bekol hingga pantai Bama. Keindahan panorama savana Bekol dengan latar belakang gunung Baluran menjadi sangat menarik untuk difoto di pagi hari.
Belum lagi hamparan pasir putih di Pantai Bama yang cukup menyejukkan hati untuk dinikmati bersama gerombolan kera abu-abu yang cukup banyak ada di pantai ini dan dalam kawasan hutan mangrove-nya.
Setelah makan siang, kami bersepeda menuju Kota Banyuwangi. Saat itu, kami kembali diguyur hujan. Dengan waktu tersisa kurang lebih 4-5 jam, masih cukup memadai untuk melintasi Watu Dodol dan Pelabuhan Ketapang hingga tiba di Hotel Mirah sebagai tempat menginap. Itu yang menjadi penanda berakhirnya perjalanan bersepeda kami.
Hari berikutnya dilanjutkan dengan trekking ke Kawah Ijen dan menjelajahi Taman Nasional Alas Purwo serta melihat keindahan Pantai Pulau Merah. Alamnya benar-benar indah-menawan. Sungguh memuaskan perjalanan kali ini.
El Que No Arriesga, No Gana
MAESA NYOMAN
Penikmat Aktivitas Outdoor